Ulasan Pasar per 26 Februari 2021

IHSG pada penutupan perdagangan hari Jumat 26 Februari 2021 mencatatkan penurunan sebesar -0,76% atau turun 47,85 poin ke level 6.241,8. Dari awal tahun IHSG mengalami kenaikan sebesar 4,39%. Dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 7.356 Triliun dengan rata-rata nilai transaksi harian Rp 18,115 Miliar. Mayoritas Indeks regional diakhir perdagangan di bulan Februari ditutup melemah, Dow Jones ditutup dilevel 30.932,37 -1,5%, Hangseng 28.980,21 -3,64%, S&P 3.811,15 -0,48%, dan Nikkei 28.966,01 -3,99%.

Harga minyak dunia mencatatkan kenaikan sebesar 18 persen sepanjang Februari 2021 seiring dengan berkurangnya pasokan global dan kebijakan OPEC+ yang akomodatif. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak bulan April ditutup turun US$2,03 pada level US$61,50 per barel di New York Mercantile Exchange. Meski demikian, selama sepekan harga minyak masih tercatat menguat 3,8 persen. Kenaikan yang terjadi sepanjang Februari didukung oleh berkurangnya stok minyak global dan mulai kembalinya permintaan dari beberapa wilayah. Data dari Badan Administrasi Energi AS (Energy Information Administration/EIA) mencatat, jumlah produksi minyak mentah AS menurun untuk pertama kali selama empat tahun terakhir.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Februari 2021 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25. Tahun lalu, BI menurunkan suku bunga acuan sebanyak 125 bps. Penurunan ini menjadi yang pertama pada 2021.

Sepanjang akhir pekan Februari yield Treasury AS tenor 10 tahun sempat naik 17 basis poin ke 1,515% yang merupakan level tertinggi sejak awal Februari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%. Kenaikan pesat yield Treasury dalam waktu singkat ini diakibatkan pasar melihat perekonomian AS membaik dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat yield yang rendah akan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya, alhasil yield menjadi naik. Kenaikan yield Treasury yang dilatarbelakangi prospek pertumbuhan ekonomi yang serta inflasi kemungkinan menanjak, juga berarti pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/ QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering. Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.

House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) AS pada Sabtu minggu lalu sudah meloloskan Rancangan Undang-Undang kebijakan fiskal senilai US$ 1,9 triliun, dan kini diserahkan ke Senat AS. Berbeda dengan DPR AS yang dikuasai Partai Demokrat, Senat AS kini sama kuat. Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama memiliki 50 kursi. Sehingga rancangan undang-undang (RUU) tidak akan lolos dengan mulus. RUU tersebut diharapkan lolos sebelum 14 Maret, sebelum stimulus fiskal yang ada saat ini berakhir. Lolosnya RUU tersebut akan menjadi kabar bagus, sebab roda perekonomian di AS akan berputar lebih kencang. Tetapi di sisi lain, pemulihan ekonomi yang lebih cepat tentunya membuat ekspektasi inflasi akan semakin menanjak, dan yield Treasury berpotensi melesat naik lagi. Pasar keuangan global akan kembali dihantui tapering.

Pada 1 Februari lalu, IHS Markit melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan oleh Purchasing Managers Index(PMI) periode Januari 2021 berada di 52,2. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,3 sekaligus menjadi yang tertinggi dalam 6,5 tahun terakhir. PMI menggunakan angka 50.